Tiap pagi, desau angin dari kipas angin tua di kamar bicara banyak
padaku melalui selimut tipis yang berkibar-kibar karenanya. Ribuan butir
air yang turun tergesa-gesa melalui keran ke bak mandi membisiki aku
dengan suara girang tapi tertahan. Seolah bilang, “Selamat pagi!
Semangat, semangat!”
sendok di mug kesayangan berwarna plum, helai-helai daun
merah yang dari dalam bis aku lihat berjatuhan setiap kali bis berhenti
di lampu merah, mata terang para pengamen cilik yang nyanyinya sumbang,
klakson-klakson yang ramai di kemacetan, dan ribuan peristiwa kecil
lainnya susul-menyusul memenuhi mataku. Semua bergerak sangat lambat.
Ketika semua orang berusaha berlari, aku pinginnya mencoba melambat. Menikmati hidup. Carpe diem. Carpe noctem.
Menikmati senja.
***
Aku sering mencoba bicara pada senja, mempertanyakan apakah
sebetulnya ia itu lelaki ataukah perempuan. Ia tidak pernah menjawab.
Senangnya malah ngeloyor begitu saja. Tapi, aku ini orangnya
cepat puas; puas hanya dengan kehadirannya yang sebentar, atau ketika ia
tidak sembunyi di balik awan gelap.
Aku kemudian menebak, “Kamu itu mestilah laki-laki. Playboy,”
aku bicara demikian pada senja di suatu sore. Tidak pernah ia bisa
cukup dengan satu keindahan. Tidak cukup hanya dengan awan yang putih
bening, ia pasti menginginkan langit biru cantik untuk bersisian
dengannya. Semua mau ia miliki. Senja hanya muncul-menghilang menggoda.
Tidak pernah ia benar-benar menjawab.
Senja lalu kelihatan bergandengan dengan batas laut.
***
Senja tidak datang-datang beberapa hari belakangan ini. Hidupku
mendadak aneh. Dimulai dari bangun tidur, aku terbangun dengan jantung
yang berdegup-degup tidak berirama. Terlalu cepat dari sewajarnya. Aku
mengingat-ingat mimpi semalam.
Aku berbisik pada senja yang keunguan. “Jangan ke mana-mana.” Senja seperti biasa cuma angin-anginan. Datang dan pergi menggoda.
Tapi tumben ia menjawab, “Setiap yang hadir, mesti akan hilang.”
Dengan jingga yang silau, senja lalu menghilang. Dan, aku terbangun
dengan dahi basah oleh keringat.
Ibu yang selalu duduk tenang di ruang keluarga hanya mengatakan,
“Mimpi itu hanya khayalan kalau terjadi ketika kamu tidur, Nak.
Sebaik-baik mimpi itu yang kamu kejar ketika kamu bangun.”
Ibu terlalu serius. Aku bergerak malas menuju meja makan. Aku
menghadapi sarapanku dengan setengah jiwa. Gesekan pisau di roti dan
piring berbisik-bisik minta diperhatikan. Aku cuek.
Setiap yang hadir, mestilah akan hilang.
“Ma, aku berangkat, ya.”
“Hati-hati, Nak. Jangan sampai dimakan mimpi.”
***
Termangu di bis menuju kantor, kemacetan berubah jadi satu hal yang
menggelisahkan. Mobil-mobil yang berbaris tidak rapi serta motor-motor
yang salip-silap sembarangan gampang mengejutkanku. Kondektur yang
meminta ongkos saja aku tidak acuhkan, sampai dia harus mencolek bahuku,
memaksaku sadar dari lamunan.
Aku percaya, mimpi tidak sekadar bunga tidur. Ia adalah pembaca
tanda. Ada yang bilang, omong kosong soal firasat. Tapi, aku lebih
setuju untuk bilang, tidak ada ruginya menjadi lebih peka. Ada juga yang
berpendapat, mimpi adalah apa yang sangat kita inginkan dalam kehidupan
nyata, sehingga alam bawah sadar mewujudkannya. Aku pikir masuk akal.
Tapi, aku akhirnya tahu, tidak semua mimpi terlalu mudah untuk
diartikan—meskipun bahasanya tidak rumit sama sekali. Lalu, apakah harus
diartikan, jika terlalu sulit untuk diterjemahkan?
Aku mengintip matahari dari balik jendela, sebelum tenggelam dalam kerja. Senja belum datang juga.
***
Di depanku, Microsoft Word yang blank di layar notebook menggodaku.
Berkali-kali, klak-klik keyboard hanya mengharuskan aku menekan tombol “backspace” berulang-ulang.
***
Apa yang paling dibutuhkan seseorang dalam hidup? Pasangan yang
ideal? Uang? Cita-cita yang kesampaian? Pekerjaan yang nikmat? Aku
bertanya pada bayangan diriku di cermin kecil di meja kerjaku. Tidak ada
respons. Pantulan yang ada di cermin hanya berkedip-kedip pelan,
memiringkan wajah ke kanan dan ke kiri.
Kalau senja benar, lalu untuk apa kita meraih? Kalau yang hadir pasti
akan hilang, lalu untuk apa kita mencintai? Untuk apa kita memiliki?
Untuk apa kita bermimpi?
Resah adalah perasaan yang dominan aku rasakan hari ini. Sama saja
seperti jatuh cinta, resah juga bisa indah. Ia bisa mengeluarkan bulir
keringat tanpa harus olahraga. Membuat kita merasakan jantung kita
berulang kali ingin mencelat keluar karena bergetar keras tak beralasan.
Atau, mengabu-abukan pikiran sehingga bisa membuat kita lupa pada apa
pun yang sebelumnya kita jaga benar, seperti citraan atau kejernihan
pikiran.
Tulisan tidak ada yang selesai. Liputan dihadiri tanpa bekas apa pun
di memori. Di tempat biasa aku bicara pada senja, aku sudah duduk-duduk.
Sendirian. Di atap paling atap sebuah gedung yang mencakar-cakar langit
Jakarta. Pak Deddy menunggu di basement. Mungkin ngopi di kantin
karyawan.
Tanpa suara, senja hadir. Hei, playboy, dari mana saja? Kali ini suaraku bahkan tidak keluar. Hanya menggaung-gaung di dalam hati.
Ia datang bersama angin yang mengenakan gaun cantik sekali; satin
berwarna biru pastel. Tangan mereka bergandengan. Aku cuma bisa tertawa
kecil dan membatin lagi, Apa laut tidak cemburu?. Senja hanya tersenyum
nakal. Angin disuruhnya bersemilir ke barat dulu, selagi senja ngobrol
denganku. Si pacar senja manyun, tapi nurut. Aku dan senja tertawa kecil
lagi.
“Dari mana? Lama nggak kelihatan?”
“Ada, tapi memang nggak kelihatan.”
“Dasar.”
“Kamu yang nggak kelihatan. Ke mana saja?”
“Mencari-cari kamu nggak ketemu, jadi aku ngambek saja, nggak ke rooftop.”
“Lho, tadi kan aku bilang, aku ada tapi memang nggak kelihatan.”
“Ya kalau nggak kelihatan, mana aku tahu kamu ada?”
Senyumnya si playboy semesta itu mengembang lagi. Wajahnya jingga tua sekarang. Ganteng.
“Aku ada di sore mana pun yang kamu bilang aku nggak ada, Tara.”
Tumben ia menyebut namaku.
“Yang nggak kelihatan kan belum tentu nggak ada,” lanjutnya lagi. Wajahnya berubah agak keunguan sekarang.
“Tapi, yang nggak kelihatan kan belum tentu juga ada di sana,” ini suaraku. Pelan. Sampai-sampai senja tidak bisa mendengarnya.
“Kangen?” katanya. Topik bergeser.
“Sedikit.”
“Sini, peluk.” Senja cuma menggoda. Ia tidak pernah bisa memelukku.
Suatu kali aku pernah minta peluk dan cium, seperti ia memeluk
mega-mega atau ia mencium batas laut sampai kebas di depan mataku. Ia
menolak. Kamu terlalu cantik, dan…terlalu lugu, katanya.
Kecantikanku membuat senja sangat hati-hati. Takut kalau ia akhirnya
terlalu cinta, sementara ia tidak akan pernah bisa terus-terusan
bersamaku. Keluguanku membuat senja jauh lebih hati-hati. Takut kalau
akhirnya aku yang jatuh cinta keterlaluan pada playboy itu dan
menuntutnya untuk selalu ada bersamaku, sementara ia tidak akan pernah
bisa terus-terusan bersamaku.
“Kamukah itu yang main ke mimpiku semalam?” aku akhirnya bertanya.
Keunguannya mulai pudar. Malam sebentar lagi mengusir senja dari
langit. Senja kelihatan gugup; entah karena malam bakal datang, atau
karena pertanyaanku.
“Kamu bilang sesuatu di mimpiku. Ah tapi aku sendiri belum tahu kalau itu betul-betul kamu atau bukan. Itu kamu?”
“Setiap yang datang mestilah memang akan hilang pada akhirnya, Tara.”
“Jadi itu betul kamu.”
“Sama seperti yang terluka, akan sembuh suatu hari nanti.”
“Begitu?”
“Iya, begitu.”
“Tapi, bukankah yang retak tidak akan bisa utuh lagi?”
“Yang penting, apa pun yang berantakan, pasti bisa dirapikan kembali. Seberantakan apa pun itu.”
“Kamu itu mau ke mana sebetulnya? Meninggalkan aku?”
Satin biru pastel lalu berkelebat di mataku. Pacar senja sudah datang
dari barat. Siupnya cemburu. Tangannya sudah menggandeng senja kencang
sekali. Raut wajah senja tidak terbaca. Ia sudah nyaris habis diusir
malam.
Tara, ingat saja, aku selalu ada walaupun tidak kelihatan. Aku ada di setiap sore yang kamu telanjangi. Aku pergi dulu.
Angin membawa pergi senja, dilihat mega-mega dan batas laut yang iri.
Aku tidak iri. Tapi entah kenapa aku merasa kehilangan. Jingganya senja
sudah tinggal setitik kecil di sudut sana, tepat di lengkung langit.
Besok ngobrol lagi? Aku bertanya dalam hati, berharap ada jawaban dari senja yang sibuk digandeng si pacar.
Tidak ada respons darinya. Ia tinggal sebutiran sangat kecil sekarang. Aku termangu, lesu di akhir petang.
Bicara saja pada hatimu, aku ada di situ. Selalu. Senja berbisik, samar sekali.
*********** Repost**************
Senja yang selalu menyimpan rindu padamu